Rabu, 14 April 2010

Membangun Sentra Mencetak Juara

Membangun Sentra, Mencetak Juara (1) - Harapan Baru Di Abad 21

Pergantian musim biasanya diiringi dengan perubahan paradigma dan pola berpikir. Tapi, intinya tetap bermuara kepada kemajuan dan kejayaan yang hendak diukir. Abad 21 alias abad millienium adalah era yang mengedepankan teknologi sebagai karya termutakhir. Sebuah paduan yang pas untuk mengembangkan pola pikir.

PB Djarum sebagai salah satu produsen pembibitan pebulutangkis masa depan, tak mau ketinggalan dalam merancang strategi pembinaan. Secara kualitas maupun kuantitas diupayakan bergerak seiring sejalan.

Langkah PB Djarum merangkai prestasi di abad 21 ditandai dengan munculnya sejumlah pebulutangkis berprestasi. Sigit Budiarto adalah salah satu ikon yang mengorbit. Masuk PB Djarum tahun 1988, karir Sigit kemudian melesat bak roket. Ia kontan menjadi buah bibir ketika berhasil merebut gelar juara dunia 1997 berpasangan dengan Chandra Wijaya. Kemudian dalam tiga tahun berturut-turut, Sigit menoreh prestasi penting bagi Indonesia (juara Thomas Cup 1998, juara All-England 1999, dan juara Thomas Cup 2000).

Tiga sukses besar itu, pun jadi modal berharga Sigit memasuki abad 21. Terbukti, sejak tahun 2001 hingga sekarang, Sigit sedikitnya telah berhasil mengantongi 11 gelar juara, di antaranya Thomas Cup 2002, All-England 2003, Kejuaraan Asia 2004, dan Cina Terbuka 2004 serta 2005.

Meski sudah berprestasi tinggi, Sigit tak berpuas diri. Ia masih terobsesi tampil di Olimpiade 2008 di Cina. Hasrat itu begitu menggebu karena ia ingin menebus kegagalannya saat absen di Olimpiade 2004 lalu. "Semoga saja harapan saya dikabulkan yang Kuasa," kata Sigit yang seusai Piala Thomas 2006 berpisah dengan Chandra yang memutuskan pensiun dari pelatnas.

Sebagai ikon PB Djarum di abad 21, Sigit tak sendirian. Ia didampingi oleh koleganya sekelas Luluk Hadiyanto yang masuk pelatnas sejak 1999. Luluk yang berpasangan dengan Alvent Yulianto, pun memiliki prestasi cemerlang. Ia dua kali juara Thailand Open (2001 dan 2004), juara Korea Open (2004), Singapore Open (2004), dan Indonesia Open (2004). Sukses tersebut mengantarkan Luluk/Alvent menempati peringkat satu dunia di tahun 2004.

Masih pada tahun yang sama, Eng Hian mempertegas kontribusi generasi Djarum di abad 21 dengan merebut medali perunggu Olimpiade 2004 di Athena (berpasangan dengan Flandy Limpele). Itu merupakan kado termanis yang diberikan Eng Hian sebelum berhenti dari pelatnas.
Sukses melahirkan Sigit, Luluk, dan Eng Hian, tak lantas membuat PB Djarum berhenti mengorbitkan talenta-talenta berkualitas. Bagi mereka, menelorkan atlet bulutangkis untuk bangsa adalah tugas kenegaraan yang harus dinomorsatukan. Memasuki abad 21 sejumlah terobosan pun dilakukan. PB Djarum ingin melahirkan atlet-atlet andal yang tak hanya memiliki bakat alam tapi juga bersandarkan pada teknologi mutakhir.

"Sejumlah negara sudah mulai memadukan antara bakat alam dan teknologi. Cina bisa begitu dominan saat ini karena mereka sudah melakukannya. Langkah serupa pun dilakukan di Malaysia. Bila tak mau tertinggal, Indonesia harus segera berbenah. Teknologi adalah salah satu
elemen penting mengatrol prestasi di abad millenium ini. Saya sudah menerapkannya di Malaysia," tandas Rexy Mainaky, mantan ganda putra Indonesia yang kini melatih Malaysia.

Pesan Rexy pantas dicermati. Teknologi memang punya peran sentral dalam perkembangan bulutangkis dunia. Sistem penghitungan skor dari 15 poin ke 21 poin, misalnya, merupakan salah satu penerapan riset dan teknologi di abad millenium. Tak pelak, bagi atlet yang tak punya persiapan matang, akan canggung menggunakan skor baru itu.

GENERASI PENERUS
Sebagai pemasok utama atlet-atlet pelatnas PBSI, PB Djarum berusaha mengkreasikan teknologi dalam pembinaannya. Tugas berat itu disandang oleh sejumlah pebulutangkis PB Djarum yang kini masuk pelatnas untuk melapis generasi Sigit dan Luluk. Sebut di antaranya Mohammad Rizal (masuk pelatnas 2003), Yonatan Suryatama Dasuki (2003) Andreas Adityawarman (2005), Andre Kurniawan (2005), Frans Kurniawan (2005), dan Lingga Lie (2005).
Termasuk juga Bandar Sigit Pamungkas, Rian Sukmawan, Tantowi, dan Subakti yang sedang merenda harapan jadi pebulutangkis top.

Itu baru di sektor putra, belum sektor putri. Ellen Angelina mengawali millenium 21 dengan menggondol gelar juara Indonesia Open pada 2001-sebelum kemudian ia memutuskan berhenti dari pelatnas dan memilih mengabdi untuk PB Djarum sebagai pelatih di Kudus.

Prestasi yang ditoreh Ellen bak keran pembuka bagi arus masuk adik-adiknya ke pelatnas PBSI. Karena, pada kurun 2002 hingga 2006 ini, nama-nama atlet potensial binaan PB Djarum seperti Maria Kristin, Yulianti, Shendy Puspa Irawati, Lily Siswanti, Febby Angguni, dan Rosaria Yusfin Pungkasari, ikut meramaikan persaingan atlet putri di pelatnas PBSI.

Saat ini tercatat sebanyak 19 atlet dan 4 pelatih asal PB Djarum yang menghuni pelatnas PBSI. "Jumlah kami (anggota PB Djarum) sekitar 40% dari total penghuni pelatnas saat ini. Kami tentu berharap ke depannya hitungan kuantitas ini akan sejurus dengan kualitas yang dihasilkan. Bagaimana pun PB Djarum sudah memiliki akar yang kuat sebagai pencetak generasi atlet berkualitas. Tradisi ini yang senantiasa memacu kami (atlet dan pelatih PB Djarum) untuk bekerja lebih gigih demi menghasilkan prestasi terbaik bagi Indonesia di pentas dunia," papar Aryono, pelatih PB Djarum yang dipercaya menangani sektor ganda campuran di pelatnas PBSI.

Yang penting, kata Christian Hadinata, "Jangan pernah malu untuk belajar. Jangan pernah sungkan bertanya demi perbaikan. Saya pikir itu adalah salah satu kunci meraih kesuksesan."(www.Pbdjarum.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar